JAKARTA - Pemerhati Lingkungan Stategis M.E. Sudrajat menuliskan sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara besar memiliki pertahanan udara (hanud) yang kuat menuju “supremasi udara”. Mengingat luas wilayah Indonesia memiliki luas daratan 1.904.556 km persegi, serta lautan 5, 5 juta km persegi, luas lautan ini sudah termasuk di dalamnya landas kontinen lebih lurang 2, 8 juta km persegi. Sehingga apabila menggunakan skala perbandingan luas wilayah darat dan laut ialah 1:2. Maka pantas jika kedaulatan udara dikelola secara maksimal, terukur dan terarah untuk kepentigan nasional.
Ir Soekarno pernah mengatakan “Kuasailah udara untuk melaksanakan kehendak nasional, karena kekuatan nasional di udara adalah faktor menentukan dalam perang modern”.
Baca juga:
Bukan Hanya Babinsa, Danramil pun Komsos
|
Menurutnya, Mencermati perkembangan saat ini bahwa potensi ancaman yang akan datang menggunakan media udara atau laut untuk masuk ke Indonesia. Berarti ancaman nyata dimasa depan adalah “air power” dan “sea power” yang bersumber baik di sekitar negara kita maupun suatu negara mengataskanan “berdasarkan fakta sejarah kekuasan masa lalu” berlindungan dalam kepentingan nasionalnya. Namun yang harus benar-benar diperhitungkan adalah ancaman dari udara, karena dapat menghacurkan obyek vital nasional secara cepat, tepat, akurat dan mematikan melalui media pesawat tempur, rudal atau pesawat tanpa awak yang saat ini dikenal “drone”
Ia menjelaskan, Pada pasal 1 Konvensi Chichago 1944, ditetapkan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh (complete & exclusive), bahwa setiap negara berhak mengendalikan secara penuh dan utuh wilayah udaranya termasuk ruang udara nasional diatasnya. Tidak satu pun pesawat udara asing baik sipil maupun militer menggunakan ruang udara nasional suatu negara tanpa ijin.
Saat ini pembangunan kekuatan militer menjadi hal yang sensitif dikarenakan menyebabkan “security dilemma” bagi negara lain. Bisa terjadi salah kalkulasi (miscalculation), salah menilai (misjudgement) dan saling mencurigai (mistrust), sehingga menimbulkan ketegangan dan saling kekuatiran di kawasan.
Rezim transparansi persenjataan adalah bagian dari keamanan bersama (common security) yang didefinisikan oleh Palme Commission, apalagi dalam modernisasi pertahanan udara dapat menimbulkan berbagai multi tafsir, meskipun secara internal sebagai upaya membangun sistim pertahanan terhadap perkembangan lingkungan strategis. Sedangkan secara eksternal diartikan sebagai ancaman terhadap suatu kawasan meskipun dengan menggunakan pendekatan pembangunan ketahanan nasional sebagai argumentasi.
Namun perkembangan saat ini yang perlu diantisipasi juga adalah perkembangan “pasukan siber’ yang dapat mengacaukan sistim pemerintah suatu negara termasuk hanud. Karena tidak menutup kemungkinan hal ini akan meretas sistim Hanud Indonesia sehingga lumpuh. Hal tersebut dianggap Indonesia memiliki nilai strategis dalam eksistensi hanud baik di kawasan Asean maupun Asia Pasifik. Sebagai gambaran pasukan siber teridentifikasi di 80 negara menggunakan media sosial untuk memanipulasi opini pablik diseluruh dunia, menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi tentang politik dan demokrasi yang menghabiskan puluhan juta dollar AS atau sekitar ratusan miliar dikeluarkan, sekitar Rp 140, 7 miliar (Oxford Internet Institute/OII, 13/1/2021).
" Mencermati fakta di atas Indonesia patut bersyukur karena memiliki lengkap tiga dimensi, karena wilaya suatu negara biasanya terdiri dari tiga dimensi yaitu daratan, perairan dan ruang udara. Namun tidak semua negara memiliki wilayah perairan/laut atau dikatakan sebagai negara dua dimensi seperti diantaranya; Laos, Kamboja, Nepal, Kazakhastan, Swiss, Austria, Irak, Congo dan Nigeria dalam istilah hukum internasional disebut “landlocked states”. Sedangkan yang memiliki lengkap tiga dimensi seperti; Indonesia, Singapura, malaysia, Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, China, Korea, Jepang", Ujar M.E Sudrajat dalam rilis yang diterima Indonesiasatu.co.id Grup, pada senin ( 10/04/23).
Baca juga:
Pejabat Baru Danrem 162/WB Tiba Di Bizam
|
Namun demikian suatu negara perlu membutuhkan pengakuan internasional akan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan negara, seperti dunia internasional memberikan legitimasi yang kuat bagi Indonesia sebagai suatu negara yang memiliki tiga dimensi. Menurut Jean Bodin, bahwa pentingnya suatu kedaulatan bagi pelaksanaan pemerintahan.
" Dengan demikian peran tentara langit dalam menjamin kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat nyata, dalam hal ini TNI AU sebagai penjaga langit bertugas pertama, melaksanakan tugas TNI matra udara dibidang pertahanan. Kedua, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi", katanya.
Selain itu, saatnya pemerintah membangun dan mengembangkan serta menggunakan produksi nasional yang menopang pengadaan sistim persenjataan dan pertahanan nasional, yang saat ini Indonesia miliki seperti PT. PAL, Pindad, PT. Dirgantara Indonesia secara tidak langsung akan mendukung pengakuan akan kemandirian dan kualitas produk nasional untuk pertahanan, mendukung ekonomi nasional serta memperkuat “gun boat diplomacy”. Dirgahayu TNI AU ke 77.
Penulis : M.E Sudrajat ( Pemerhati lingkungan strategis )